Tampilkan postingan dengan label banjarnegara. Tampilkan semua postingan

Mbok Brendung, boneka cantik penuh magis pemanggil hujan

Pernah terbayang ga ada sebuah boneka yang bisa "mengendalikan" beberapa orang dewasa sekaligus sampai mereka bergulingan di tanah sambil makan kembang ?

Keren kan ?
Pastinya.........

Foto by Toha Trend - KPFB


Itulah sedikit gambaran tentang kesenian brendung sodara sodara. Pernah dengar ?
Kesenian Brendung merupakan salah satu kesenian yang bisa kita jumpai di Desa Bedana, Kecamatan Kalibening, Kabupaten Banjarnegara. Sebenernya sih kalau kita googling, ada sumber yang menyebutkan bahwa kesenian ini berasal dari daerah Kecamatan Comal Kabupaten Pemalang yang masih dipertahankan oleh entitas masyarakat wong kaso (suku kaso-yang dikenal sebagai suku samin-nya Kabupaten Pemalang) #katagoogle tapi kita nggak akan membahas sampai ke situ kok.....

Oke ? 
skip .....

Lalu, apa sih Kesenian Brendung itu ?

Menurut masyarakat yang masih melestarikannya (khususnya masyarakat di wilayah utara Jawa Tengah), baik di Desa Bedana Kecamatan Kalibening maupun di wilayah Kabupaten Pemalang dan Pekalongan, semua sepakat bahwa asal kata “brendung” adalah dari kata sebutan untuk bidadari. Sebab memang kesenian ini melibatkan semacam boneka yang cantik dan memiliki sedikit kemiripan dengan Jelangkung, hanya saja terdapat perbedaan dari bahan pembuatnya dan cara memainkannya.

Boneka yang disebut oleh masyarakat desa Bedana sebagai “mbok brendung” ini bagian kepalanya terbuat dari siwur (gayung dari tempurung kelapa), sedangkan tubuhnya terbuat dari bubu (alat penangkap ikan dari anyaman bambu) yang kemudian dirias sedemikian rupa, dipakaikan baju sehingga menyerupai wanita cantik, lalu dilengkapi dengan sesajen, dupa, serta diberikan asesoris bunga-bunga seperti kembang kamboja dan kembang telon (bunga tiga jenis yaitu mawar, melati dan kantil) yang diikat dengan angking.

Dalam melakukan kesenian brendung ini dibutuhkan lebih dari 8 orang laki laki dan 4 atau 6 wanita diperbantukan sebagai pelantun (penyanyi) sambil membunyikan musik sederhana dari lesung dan  beberapa alat dapur yang dipukul-pukul membentuk suatu irama tertentu, sedangkan pemimpin ritual ini disebut sebagai “mlandang“. (Kata mlandang ini dimungkinkan adalah serapan dari kata dalang:ndalang)

Tugas mlandang memainkan boneka bidadari (brendung) tersebut sekaligus sebagai pemeran utama dalam pementasan lakonnya, sedangkan para laki laki lainnya bertugas memegang tali dari 4 sisi supaya boneka bidadari atau brendung tidak lepas terbang.

terbang ?
yes.......

Pada awalnya boneka itu akan bergerak dalam tempo lambat, lalu semakin lama semakin kuat. Seperti layaknya seorang penari yang mabuk kegirangan karena senandung syair dan mantra yang memujinya. 

foto by Mas Diran - KPFB
Lambat laun, dengan semakin bersemangatnya lagu lagu pantun/wangsalan dialunkan dan animo pertunjukan yang semakin semarak, boneka tersebut seolah semakin "menggila" bergerak menari-nari sendiri, keempat sampur yang dipegang oleh 4 orang laki laki dari berbagai sisi itupun terasa semakin berat dan liar. Pada fase ini, diyakini boneka brendung itu sudah berhasil dimasuki roh halus arwah Nyai Brendung yang apabila tidak dipegangi maka akan berontak dan terbang ke atas langit kemudian berubah menjadi pageblug atau hantu gentayangan.

Hebatnya lagi, para laki laki pemegang sampur atau selendang itu lama lama akan mengalami trans alias kesurupan. Mereka kemudian bergulingan di tanah sambil mengerang seperti macan dan hewan lainnya, kemudian bergerak kesana kemari mencari "makanan" berupa kembang, air dan bahkan beling...... 

Gitu........

Foto by Toha Trend - KPFB

Keren sekaligus ngeri, itu yang terjadi ketika kita menonton pertunjukan kesenian ini. Apalagi dengan adanya alunan mantra yang menjadikan aura di sekitarnya semakin mistis hehehe ....
Kata masyarakat Bedana, sebenarnya ada perbedaan "rapalan" yang dilantunkan dengan aslinya, sebab sudah mengalami akulturasi budaya dengan kearifan lokal setempat.

Meskipun begitu adanya perbedaan penyebutan atau penamaan dan perbedaan mantra dan tata cara pelaksanaan ritual di beberapa daerah yang masih mempertahankannya tersebut, inti dan tujuan dari digelarnya kesenian Brendung ini tetap sama, yaitu ritual pemanggilan hujan yang dilaksanakan oleh masyarakat agraris ketika mereka mengalami kekeringan atau musim kemarau panjang.

Semakin penasaran ?
Jelas......
Berdasarkan hasil penelusuran yang bisa dipercaya, Kesenian Brendung ini sudah teregister menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2013 dengan Nomor Registrasi 2013003586, Domain Seni Pertunjukan Provinsi Jawa Tengah. (warisanbudaya.kemdikbud)

Dimana kesenian brendung ini bisa ditemukan di Desa Sarwodadi Kecamatan Comal Kabupaten Pemalang, namun ada juga di wilayah Desa Bedana Kecamatan Kalibening Kabupaten Banjarnegara, di wilayah Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan dan sekitarnya, terutama di daerah-daerah selatan Pantai Utara Jawa Tengah yang berbasis pegunungan.

Sayang sekarang ini kesenian Brendung sudah sangat jarang dijumpai, bahkan sangat sulit ditemukan. Faktor tergerus perkembangan jaman yang semakin modern serta tidak ada regenerasi penerus kesenian ini sangat jelas menjadi alasan, bahkan tidak adanya tempat di hati masyarakat karena faktor agama juga menjadikan popularitas kesenian ini semakin memprihatinkan.

***dari berbagai sumber

9.07.2023
Posted by ngatmow

Baritan Dieng Kulon, warisan budaya yang semakin tidak terlirik dan mulai terlupakan

Pernah mendengar istilah Baritan gaes ?
Belum ?

Wajar........ kaum milenial........
eh nggak ding, kaum kolonial juga ada yang belum kok hehhe.........

Baritan adalah sebuah tradisi dalam budaya masyarakat Jawa yang sudah dilaksanakan secara turun temurun setiap tahun baru Islam. Tradisi baritan ini adalah sebuah upacara adat yang tidak lain adalah  berkaitan dengan kepercayaan masyarakat dan peristiwa alam. Tentunya hal ini diawali dari kepercayaan masyarakat terkait ritual tradisi baritan yang dilakukan untuk mencegah bencana alam yang mungkin akan terjadi. Dan biasanya tradisi ini sangat erat dengan peristiwa sejarah yang dialami warga setempat secara berkala.



Sebuah pendapat berbeda dari para pelaku baritan (yang bermata pencaharian sebagai petani) mengatakan bahwa baritan berasal dari kata 'buBAR ngaRIT  SelameTan', yang artinya adalah acara syukuran setelah selesai menyabit rumput/padi. namun ada sebagian masyarakat yang lain yang mengkonfirmasi bahwa bahkan kata itu tidak lagi diketahui asalnya. Masyarakat hanya tahu bahwa nama kegiatan ritual itu adalah Baritan, tanpa mempertanyakan lebih lanjut. 

Seperti di daerah Indramayu, konon Baritan itu ada hubungannya dengan kata dalam bahasa Sunda "buritan" yang berarti waktu sehabis maghrib, mengacu pada waktu pelaksanaan, sedangkan di Jawa Tengah sebelah barat, baritan itu berasal dari kata 'barit ' yang berarti tikus. Hal ini berhubungan dengan maksud kegiatan ritual masyarakat agraris untuk menghindarkan diri dari serangan tikus. 

Di sisi lain,  secara religi bagi masyarakat  yang melaksanakannya, tradisi Baritan adalah apresiasi rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan karunia Nya. Harapannya, dengan upacara ini secara tidak langsung masyarakat juga diingatkan agar intropeksi diri atas tingkah lakunya juga menjaga kepedulian atas sesamanya. Jadi sebenernya manusia disuruh menjaga kodratnya kembali sebagai makhluk sosial. gitu sodara sodara......

Meskipun tradisi baritan ini sudah mulai ditinggalkan, namun di pulau Jawa sendiri masih ada beberapa daerah yang secara rutin menggelarnya, bahkan secara besar besaran. Pemalang, Blitar, Banyuwangi, Wonosobo dan Dieng adalah beberapa contohnya.

Wait......Dieng ?

Yes....... Bener sekali.

Ada tradisi ini di Dieng dan sekitarnya sodara sodara...... 
Ga pernah denger? Sama ...... hehehe......

Mbah Sumanto
Tradisi Baritan di Dieng memang tidak terekspos seperti halnya tradisi pemotongan rambut gembel yang memang sudah dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah festival berskala nasional, namun tradisi ini masih tetap terjaga dan digelar oleh sebagian masyarakat Dieng (khususnya Desa Dieng Kulon) setiap tahun pada bulan Sura (penanggalan Jawa). Penjaga tradisi ini adalah 7 orang sesepuh desa yang dipimpin oleh mbah Sumanto (menggantikan Mbah Naryono yang sudah meninggal beberapa waktu yang lalu). 

Menurut Mbah Manto, panggilan akrab beliau, Baritan di Dieng Kulon berasal dari kata "mbubarake Peri lan Setan" (membubarkan peri dan setan). Dan sesuai dengan makna kepanjangannya itu Baritan di Dieng lebih menjadi sebuah upacara / ritual yang ditujukan agar masyarakat desa Dieng Kulon terhindar dari Balak dan Bencana, sehingga kehidupan senantiasa aman, tentram dan damai.

Begitu kira kira gaes......
Lanjut ya ........

Upacara Baritan Dieng terdiri dari berbagai rangkaian acara yang dipimpin langsung oleh para sesepuh desa. Rangakaian Baritan meliputi ziarah makam leluhur, kirab, penyembelihan wedhus kendhit (kambing putih dengan bulu berwarna hitam yang melingkar sempurna di bagian badan, atau sebaliknya) berjenis kelamin jantan.

Ada beberapa hal yang menarik dari pelaksanaan tradisi Baritan di Dieng ini ;
  • Penanaman kaki wedhus kendhit di 4 penjuru desa dan kepala tepat di titik tengah desa oleh sesepuh desa, dan anehnya apabila digali lagi tulang belulang kaki dan kepala pada proses baritan tahun sebelumnya ga pernah ada....... padahal secara logika harusnya masih kan..........
  • Dilakukan semacam doa bersama dan grebeg makanan di 7 perempatan desa Dieng Kulon
  • Selamatan berupa acara makan bersama yang dilakukan oleh semua warga desa bertempat di kediaman salah seorang sesepuh desa dengan menu utama daging wedhus kendhit yang sudah disembelih pada pagi harinya. Dan sebagai informasi, pada acara selamatan ini daging satu ekor kambing tersebut tidak habis dibagi untuk hampir 300 orang yang hadir......... wow kan.......
  • Disediakan 7 buah tumpeng dengan 7 warna yang berbeda, lengkap dengan segala lauk pauknya sebagai pelengkap aneka makanan olahan daging wedhus kendhit pada acara selamatan.
Mulai tertarik ?
Oke.........
Jadi ceritanya begini, satu persatu ya...........


Prosesi baritan diawali pada malam hari dimana 8 orang sesepuh desa Dieng Kulon melakukan ritual lampahan. Lampahan dimaksud adalah melakukan perjalan mengelilingi desa tepat pada sepertiga malam terakhir (kurang lebih dimulai jam 2 pagi...... ga terbayang deh dinginnya kaya apa.......)

Kemudian paginya, mereka bertujuh akan melakukan penyembelihan seekor kambing khusus yang disebut sebagai wedhus kendhit tadi. Kepala dan ke empat kakinya akan ditanam di 4 penjuru desa sebagai simbol benteng luar desa, kemudian kepala ditanam tepat di titik tengah desa sebagai simbol kewibaan desa. Dagingnya dikelola oleh kaum perempuan untuk dimasak dan diolah sedemikian rupa menjadi masakan yang akan disajikan dan dibagikan kepada seluruh masyarakat desa Dieng Kulon.

Proses penanaman kaki wedhus kendhit di 4 penjuru desa dilakukan secara bersama sama oleh 7 orang sesepuh desa Dieng Kulon dengan diiringi oleh warga dan berbagai macam kesenian desa seperti Barongsai, embeg dan jepin. Titik startnya adalah rumah yang akan digunakan sebagai tempat dilaksanakannya selamatan. 

Sebelum perjalanan dimulai, akan dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama (Islam) dengan dilanjutkan pemukulan gong sebagai tanda start. Dalam proses jalan, warga masyarakat yang mengikuti akan melantunkan kidung yang berisi puji pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW dan itu dilakukan sampai ke titik titik penanaman 


Sesampainya di perempatan, rombongan akan berhenti untuk menggelar doa bersama lagi. Doa dilakukan bersama warga yang berkerumun mengelilingi meja berisi makanan (biasanya tumpeng dan aneka perlengkapannya), kopi teh serta jajan pasar. Doa yang dipimpin oleh seorang pemuka agama ini diakhiri dengan Grebegan panganan alias rebutan makanan oleh warga yang ada di sekitarnya. Bahkan saking asiknya, warga sampai tidak sadar bahwa rombongan sudah beranjak meninggalkan lokasi itu menuju ke perempatan selanjutnya hingga sampai pada titik penanaman kaki dan kepala wedhus kendhit selesai.

Rame ? jelas......

Singkat cerita, setelah semua prosesi dilakukan maka acara terakhir adalah kembali berkumpul di titik start untuk melakukan selamatan. Seperti tradisi baritan di tempat lain, selamatan di Dieng Kulon juga diselenggarakan dengan mengumpulkan seluruh warga desa untuk melakukan doa bersama kemudian makan bersama dan terakhir adalah pagelaran kesenian desa selama sau hari penuh.

Istimewanya gaes, makanan yang disajikan adalah 7 buah tumpeng dengan 7 warna yang berbeda, lengkap dengan segala lauk pauknya sebagai pelengkap aneka makanan olahan daging wedhus kendhit pada acara selamatan. dan seperti sudah disebutkan sebelumnya, pada acara selamatan ini daging satu ekor kambing tersebut tidak habis dibagi untuk hampir 300 orang yang hadir. Ga percaya ? buktikan sendiri deh......


Tertarik ?
Tunggu bulan Sura pada penanggalan Jawa, nanti kita kesana bareng ...... oke ?

 

 

 

Festival Rawa Pusung Jilid II : Banyak perbaikan sih, tapi ........

Festival Rawapusung kembali digelar gaess....

Event tahunan yang baru dua kali diselenggarakan secara besar di Desa Beji Kecamatan Pejawaran kali ini berlangsung selama tiga hari hari, yaitu hari Jumat sampai Minggu 20-22 September 2019 kemarin dan berhasil memukau ribuan pengunjung di sana lho. Suwer.......


Beda dengan tahun kemaren yang acaranya padat banget pada hari sabtu dan minggunya, tahun ini rangkaian acara agak sedikit diperlonggar gaes.....
Prosesi baritan dan wayang ruwat plus pagelaran wayang kulit semalam suntuk digelar pada hari jumat. Hari sabtu dikhususkan untuk pementasan kesenian warga plus kuda lumping dan kesenian Jepin sedangkan  hari Minggunya hanya untuk fokus pada puncak acara yaitu pemotongan rambut gimbal si anak bajang. Sekedar informasi, kalau tahun sebelumnya ada tiga anak bajang yang dipotong rambutnya, kali ini hanya ada dua bocah yang ikut yaitu Nadia Ulfa (5 th) dari Desa Babadan Kecamatan Pagentan dan Syifa Muasafah (9 th) dari Dusun Genting, Desa Beji.

Masih seperti tahun sebelumnya, rangkaian prosesi puncak yaitu cukuran rambut gembel diawali dengan cara proses pengambilan air di Rawapusung dimana air tersebut akan digunakan untuk  upacara jamasan si anak bajang. Pengambilan air ini dilakukan oleh sesepuh desa dengan diiringi warga yang berpakaian adat Jawa lengkap dengan menggunakan kendi dan batang batang bambu.

Setelah upacara jamasan, sekitar pukul 11.00 WIB, prosesi pemotongan rambut gembel pun dimulai. Syifa dan Nadia diarak menggunakan tandu mengelilingi desa dengan diikuti oleh segenap warga masyarakat dan pengunjung yang hadir untuk menuju Embung Rawapusung, tempat pelaksanaan pemotongan rambut.

Nah, pas proses arak arakan ini ada beberapa hal yang kayaknya perlu jadi bahan evaluasi gaes.
saking antusiasmenya warga, mereka menggerombol di kanan kiri jalan desa plus ikut dalam rombongan. tapi ..... mereka ga pakai kostum adat gaes........
jadi hasil jepretan foto untuk acara ini bisa dipastikan ambyar......... kan fak banget...............
hehehe.............

Selanjutnya, pada saat sudah ada di lokasi pemotongan, ga ada koordinasi antara pembawa acara sama korlap yang ada di sana. hasilnya, sambutan yang awalnya hanya ada dua yaitu kades dan bupati dalam pelaksanaannya jadi empat, ketua panitia dilanjut kades, camat dan bupati.....
DAMN !!
Bosen gaes.......

Panas juga .... polll........

Emang sih dalam sambutannya, Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono, menyampaikan beberapa hal yang bikin adem dan girang warga setempat, salah satunya adalah mengucapkan rasa bangganya bahwa desa Beji mampu menyelenggarakan event yang cukup besar seperti itu. Bupati bahkan berharap agar bisa menjadi inspirasi bagi desa desa lainnya dan bahkan di seluruh wilayah Kabupaten Banjarnegara.
"Yang jelas saya salut, event ini sangat bagus dan kreatif," kata Bupati.

Selain itu yang paling ditunggu warga adalah statement Bupati untuk membangun infrastruktur menuju ke desa yang notabene terpencil ini pada anggaran pemerintah tahun depan dan tentu saja hal ini disambut tepuk tangan dan sorak sorai pengunjung yang hadir.
"Tahun 2020 nanti dari Beji sampai Kecamatan Pagentan via Tegaljeruk akan dialokasikan anggaran sebesar Rp 8,5 miliar,"

Wow  ya ??

hemm............

Hihihihi..........

Nah hal yang paling krodit (dan paling mengecewakan saya pribadi) dari pelaksanaan Festival Rawapusung tahun ini adalah pada prosesi intinya. Pas prosesi ini panitia (dalam hal ini entah siapa yang ikut ngatur di deket MC) mempersilahkan seluruh anggota rombongan pejabat untuk ikut ke tengah embung (lokasi pemotongan)...... padahal kecuali bupati, yang lain kan ga berkepentingan.......
umpel umpelan alias penuh sesak gaes.

DAN FOTONYA AMBYAR tentu saja........

Sedikit curhat sih, sebenarnya kalau mau sebuah acara terpublikasi dengan sukses berkompromilah dengan para fotografer yang ada dilokasi ........ tapi hal itu kayaknya emang nggak (atau bahkan sama sekali TIDAK) dipahami oleh panitia kegiatan budaya semacam ini yang rata rata adalah kaum kesepuhan ..... orang tua....... hahahaha
Pada umumnya mereka akan mementingkan bagaimana caranya "menyenangkan" dan "menghormati" tamu penting (apalagi pejabat) yang hadir tanpa memperhatikan sisi lain yang sebenarnya jauh lebih penting........

Sebagai contoh, di festival kemarin beberapa orang pejabat dengan pakaian non adat plus topi dipersilahkan untuk menemani pak camat (yang menggunakan baju adat lengkap dengan blangkon) memotong rambut salah satu anak bajang....... lha ini kan 100% bikin keki para fotografer yang berjejer di lokasi.........

Hasil fotonya ?


aSudahlah........

By the way, diluar hal hal tadi pada peyelenggaraan kali ini banyak perubahan positif kok. banyak perbaikan perbaikan di segala sisi. Mulai dari penataan lokasi, inovasi acara sampai dengan acara "klangenan" para fotografer, Jepin.......
Beda dengan tahun kemarin, pementasan jepin kali ini  lebih asik dan fun. Para pemain yang mengalami trans alias kesurupan pun bermain api lebih asik..... dan yang pasti hasil foto teman teman fotografer jadi memuaskan........


Seperti tahun tahun sebelumya yang perlu dipublikasi lebih lanjut gaes, satu hal yang unik dalam penyelenggaraan Festival Rawapusung ini, penduduk desa Beji menyediakan rumah mereka sebagai hunian sementara (home stay) bagi para tamu seperti wartawan, fotografer, seniman dan wisatawan secara cuma cuma termasuk fasilitas konsumsi selama mereka menginap lengkap dengan segala keramahan khas pedesaan ala mereka.....



Menarik bukan ?
Semoga tahun depan festival ini masih ada dan digelar dengan semakin baik ya gaes...... biar kesenian dan kebudayaan di desa ini tetap lestari, nggak pernah mati ........


Instagram

Arsip

Copyright 2008 ZISBOX- Metrominimalist | Template Diutak atik Ngatmow Prawierow