Archive for 2015

Mari ngobrol soal Sidang Mahkamah Konco Dhewe

Kemarin sore nggak seperti biasanya saya sempatin nonton tivi khusus di bagian berita nasional (karena biasanya tivi selalu dikuasai Zizi buat nonton kartun atau malah the f@#king d#mned indiahe di salah satu tivi swasta). Dan apa yang saya dapatkan adalah sebuah kabar yang luar biasa mengecewakan.

Satu kata yang terucap dari mulut saya saat itu : A $ Uuuuu..................

Maaf sodara sodara, bukannya saya berniat untuk ngomong tidak baik. Tapi begitulah yang terjadi secara reflek dan tanpa kontrol. Kenapa ? yang tersiarkan di tivi bukannya suatu hal yang terkait dengan pembangunan atau berita politik yang menarik namun kondusif dan sehat serta menjujung tinggi amanat rakyat (sehingga mereka kemudian disebut "terhormat"), melainkan berita para badut laknat yang sedang bersidang di Mahkamah Konco Dewe........... #damnit

Yup, Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dengan agenda meminta keterangan Ketua DPR Setya Novanto terkait skandal “papamintasaham” akhirnya digelar tertutup. Keputusan itu diambil lantaran permintaan dari Novanto langsung. Hal ini sangat bertolak belakang dengan komitmen majelis yang menginginkan agar sidang dilakukan secara terbuka. What the hell happened man....???

Sidang Novanto hanya berlangsung sekitar tiga jam dan digelar tertutup. Padahal dalam dua persidangan sebelumnya, rapat berlangsung alot dengan tanya jawab hingga berlangsung sampai malam hari. Bahkan,tersiar kabar, seluruh aktivitas dalam sidang tidak boleh direkam atau dicatat siapapun. lalu bagaimana caranya mereka nanti mengambil keputusan? apa buktinya ? apa dasarnya ? apa ? apa ? dan apa?

Ada apa ini ?
"Ya karena 'kecanggihan' yang menjawab. Kalau jawaban bagus, ruang untuk mendalami jadi tidak terlalu luas," kata ketua MKD Surahman Hidayat di sela rapat internal di depan ruang sidang MKD, gedung DPR, Jakarta, waktu ada pertanyaan dari wartawan.

Memang sih dia tidak merinci maksud dari 'kecanggihan' Novanto dalam menjawab. Dia menyebut hasil persidangan yang berlangsung singkat tadi saat ini sedang dibahas dalam rapat internal MKD. Tapi ada seorang sumber juga yang mengatakan bahwa hal itu tak lain terkait dengan nota pembelaan Setya Novanto sebanyak 12 halaman yang dibacakan dalam sesi pertama persidangan. Dalam pembelaannya, Novanto membantah semua keterangan Sudirman Said dan Maroef Sjamsoeddin.

Asal tahu saja sebelumnya Ketua DPR Setya Novanto meminta agar persidangannya sebagai teradu di MKD ditunda pukul 13.00 WIB, dari yang semula dijadwalkan pukul 09.00 WIB. Apa alasannya?
"Sehubungan ada kegiatan lain yang tidak dapat saya tinggalkan, maka saya mohon agar sidang dapat diundur menjadi pukul 13.00 WIB," ucap ketua MKD Surahman Hidayat membacakan surat dari Novanto di ruang sidang MKD gedung DPR, Jakarta, kepada wartawan.....
Surahman mengatakan tak ada penjelasan soal kegiatan apa yang dimaksud oleh Novanto, namun karena surat belum diterima pukul 09.00 WIB, maka MKD bisa memenuhi permintaan itu.

Padahal kalau memang menggunakan etika, seharusnya ada penjelasan kegiatan apa yang membuat sidang ditunda kan ? kenapa ini tidak ada sodara-sodara ? misalnyalah ada hal-hal substansi Pak Novanto sebagai ketua DPR misal bertemu tamu negara, rapat dengan Presiden atau membuka acara penting lainnya di tempat yang lain.... lha ini ??

Oke, saya coba untuk mengatur nafas agar pikiran saya tetap jernih sebelum memindahkan channel tivi ke tivi wan yang "biasanya" selalu nyeleneh.... ternyata beritanya sama sodara-sodara..... malah dari hasil investigasi ala tivi, saya kok jadi merasa bahwa bahwa Menteri ESDM, Sudirman Said yang notabene saat ini sebagai saksi pelapor merasa dikuliti dan dihakimi oleh anggota sidang MKD, sehingga merasa dirinya lah yang menjadi terdakwa. Banyak pertanyaan anggota MKD yang keluar dari konteks apa yang dilaporkan. Aneh kan? Mungkin esensi dari sidang yang katanya sidang etik ini tidak dipahami oleh anggota MKD. Sehingga keliatan mereka menanyakan saksi pelapor, seakan bertindak sebagai pengacara terdakwa dalam film film detektif. Ya, dengan “menguliti” Sudirman Said sebagai pelapor/pengadu, keliatan anggota MKD, terlihat sebagai pengacara “terdakwa” Setya Novanto, yang ingin membebaskan Setya Novanto atau bisa meringankan hukuman Setya Novanto. Belum lagi jika kita lihat betapa banyaknya orang yang terus mengupas tentang niat Sudirman Said melaporkan Setya Novanto. Masih ditambah lagi dengan argumen tentang sah atau tidak, boleh atau tidak jika pembicaraan kita atau pejabat direkam... bah......

Semua itu keluar jauh dari pokok masalah mannnnnn......... Benar, mungkin saja ada maksud tertentu dari Sudirman Said melaporkan Setya Novanto. Pertanyaannya, apakah salah jika ada seorang perampok yang melaporkan ke polisi akan terjadi aksi perampokan? Tolong dipikir pelan pelan sambil mengatur nafas deh kisanak...
Jika itu terjadi pada diri kita atau rumah kita yang ingin dirampok. Apakah kita akan menyalahkan perampok yang melapor? Bukankah Indonesia adalah rumah kita? Bukankah sebaiknya polisi menindak lanjuti dulu laporan perampok itu, baru kemudian memproses pelapor yang diduga sebagai perampok? Sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh Maroef Sjamsoeddin yang merekam pembicaraannya karena menduga akan ada rencana dan pembicaraan yang aneh aneh. Silahkan saja jika ada yang berpendapat bahwa hal itu melanggar undang undang. Tapi apakah tidak berpikir bahwa ada kepentingan yang lebih besar dan ada pelanggaran yang lebih besar daripada yang dilakukan oleh Maroef Sjamsuddin? Misalkan saja, Maroef Sjamsoeddin dianggap bersalah merekam pembicaraan itu, lalu apakah niat Setya Novanto dan Muhammad Reza bisa dibenarkan? Apakah kesalahan Maroef Sjamsuddin bisa menggugurkan tuduhan kepada Setya Novanto dan Muhammad Reza?

entahlah........permasalahan hukum di negeri ini memang sudah begitu akut man..... tidak ada yang pasti dalam konteks hukum saat ini (terutama jika menyangkut mereka "yang terhormat"


Satu hal lagi yang menurut saya menjadikan sidang ini hanya dagelan saja adalah seorang kolega "terdakwa" yang kebetulan ditunjuk menjadi ketua sidang. Kahar Muzakir. Setya Novanto dan Kahar Muzakir adalah kader partai yang sama yaitu Golkar man.......
Ada konflik kepentingan dan menjadi makin jelas saling melindungi antara sesama, apalagi jika mengingat keduanya sangat akrab dan keduanya pernah diduga terlibat menerima aliran suap dana PON. Itu terbukti dengan dipenuhinya permintaan Setya Novanto untuk menjadikan sidang MKD menjadi sidang tertutup. Padahal sudah jelas mengadakan sidang tertutup, bisa dianggap melanggar undang undang mengenai informasi publik, seperti tertera dalam UUD Dasar 1945 pasal 28F* dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008*, tentang keterbukaan informasi publik.... (sumber : kompasiana)

Dalam siaran berita lain, muncul wajah bapak presiden Jokowi yang nampak sangat serius dalam menyampaikan pernyataannya kepada media “Proses yang sedang berjalan di MKD harus kita hormati...” kata Jokowi, lalu terdiam sesaat, kemudian lanjutnya dengan intonasi menahan marah, “Tetapi, ...tapi, yang namanya lembaga negara itu dipermain-mainkan. Lembaga negara itu bisa kepresidenan, bisa lembaga-lembaga negara yang lain. Saya enggak apa-apa dikatakan presiden gila, presiden sarap, presiden koppig, engak apa-apa. Tapi kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut meminta saham 11 persen, itu yang saya enggak mau, enggak bisa! Ini masalah kepatutan dan kepantasan, masalah etika, moralitas! Dan itu masalah wibawa negara!” sama sekali tidak ada senyum secuil pun di wajahnya, sebagaimana biasanya. Setelah mengungkapkan kemarahannya itu, Jokowi bilang, “Cukup!” Lalu berbalik berjalan cepat-cepat tanpa menggubris lagi pertanyaan wartawan. *metronews

Jelas Presiden Jokowi sudah hilangkepercayaannya sama sekali kepada Setya Novanto, yang sudah mencatut namanya sebagai Presiden secara begitu terang-terangan. Ungkapan kemarahan Jokowi itu seharusnya menjadi peringatan keras bagi MKD, agar jangan coba-coba lagi bermain-main dengan kasus ini. Jika MKD benar-benar nekat, dengan akhirnya memutuskan bahwa Setya Novanto tidak bersalah sehingga ia tetap boleh meneruskan jabatannya sebagai ketua DPR, bisa dipastikan, bahwa persoalannya bukan selesai, tetapi akan semakin panas. Eskalasi politik pasti akan meningkat cepat mencapai titik yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap parlemen. DPR yang ada nanti adalah DPR yang sudah kehilangan kredibilitasnya sama sekali, jauh lebih parah daripada DPR di zamannya Orde Baru. DPR akan semakin dipandang rakyat hanya sebagai suatu lembaga hina, gedung tempat bernaungnya para penggarong dan para pelindungnya. Dalam kondisi demikian, bagaimana bisa badan legislatif itu bisa menjalan kerjasama yang baik dengan eksekutif sebagaimana diwajibkan konstitusi?

Cukup disini kita sebagai rakyatlah yang harus ingat bahwa ini sidang politik. Yang mana, bukan kebenaran yang dicari, tapi adu kekuatan dan adu lobi politik yang diperlukan. Sehingga otomatis mereka yang berada dalam ruang sidang tidak akan pernah mau mendengarkan suara sumbang dari rakyat dan tidak akan pernah memikirkan kepentingan yang lebih besar. Yang lebih penting dipikirkan oleh mereka, bagaimana caranya supaya bisa saling melindungi sesama orang partainya dan koleganya.....

Mungkin mereka sudah lupa bahwa masih ada sangat sangat banyak warga negara kita tercinta yang memantau setiap polah tingkah mereka sambil mengelus dada dan menggelengkan kepala. Mungkin mereka sudah lupa bahwa masih ada jutaan warga bangsa ini yang berpikiran lurus jernih serta menyesal sudah memilih mereka pada pemilu yang lalu.......
Akhirnya kembali kepada kitalah yang masih waras serta bisa berpikir jernihlah yang harus berusaha bersabar diri, mencoba berhati dingin berpikiran terbuka sendiri dan mencoba untuk bisa menelaah apa yang seharusnya kita lakukan di kemudian hari. Biarkan mereka yang terhormat itu berkarya sendiri dan semoga besok ketika mereka mati tanah akan mau menerima mereka di liang lahatnya sendiri tanpa perlu dilipat lipat di bagian tangan dan kaki ................. amin.................



12.08.2015
Posted by ngatmow

Coretan Cak Nun : Pamangku Buwono Mamayu Bawono

Kembali lagi saya browsing ke website pribadi salah satu tokoh idola saya, Cak Nun, dan saya menemukan satu dari banyak tulisan yang mungkin adalah jawaban atas kegundahan beberapa orang kawan saya beberapa waktu terakhir ini. Apa itu ? tidak lain adalah wacana perubahan PNS menjadi ASN ...... Pegawai Negeri Sipil menjadi Aparat Sipil Negara....... serupa tapi tidak sama........... mari kita simak.......

courtesy : Mbah Google
Pada suatu hari nanti, kepanjangan idiom PNS bukan lagi Pegawai Negeri Sipil, melainkan Pegawai Negara Sipil. Lebih tepatnya Pegawai Sipil Negara (PSN). Kalau memakai tata bahasa Jawa: Pegawai Sipil-nya Negara.

Dan apabila bangsa kita sudah menjadi lebih dewasa, diperjelas menjadi Pegawai Sipil Rakyat (PSR). Atau lebih tajam tapi halus: Abdi Rakyat (AR). Kalau terang-terangan: Pelayan Rakyat (PR) atau Buruh Rakyat (BR).

Kenapa tidak lagi Pegawai Negeri Sipil? Karena kata ‘Negeri’ digunakan dalam budaya, bersifat cair, sastrawi dan romantik, jenis rasa-katanya berada di ranah budaya yang lembut, untuk lagu, puisi atau retorika kultural. Sedangkan ‘Negara’ bersifat ‘padat’, definitif dan denotatif, sehingga jelas aplikasi, formula dan perwujudannya dalam urusan birokrasi dan administrasi.

Cobalah nyanyikan lagu wajib ‘Padamu Negeri’ dengan mengganti kata ‘Negeri’ dengan ‘Negara’ dan rasakan langsung atau perlahan-lahan.

Lingkup pemahaman atau identifikasi Pegawai(nya) Negeri hampir tak berpagar, tidak ada ‘galengan’nya, tidak menentu tata aturannya, sangat relatif regulasinya. Kosakata ‘Negeri’ tidak bisa menjadi fondasi hukum dan tata kepegawaian. ‘Negeri’ bukan bahasa hukum. Ia bahasa budaya, bahasa estetika.

Tetapi kalau Pegawai Negara, langsung menjelaskan bahwa pegawai mengabdi kepada Negara dengan Undang-undangnya yang padat. Pegawai bukan mengabdi dan patuh kepada Kepala Kantornya, kepada Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri atau Presiden. Semua ‘padatan’ dari Lurah hingga Presiden itu beserta semua Pegawai Negara, bersama-sama mengabdi kepada Undang-undang Negara, sebagai salah satu perwujudan pengabdian mereka kepada Rakyat.

Dengan prinsip itu maka Presiden hingga Lurah bukan ‘atasan’nya Pegawai Negara, karena mereka berposisi sama di depan Undang-undang dan Hukum. Bahwa ada pembagian kewajiban dan hak yang tidak sama, ada tatanan hirarchi kewenangan yang berbeda, itu pada hakekatnya tidak berstruktur vertikal, melainkan merupakan putaran dinamis “division of labour”.

Rakyat membangun ‘Rumah’ yang bernama Negara beserta tata aturannya (konstitusi, hukum dan tata-kelola atau birokrasi). Di dalam rumah itu PNS, PSN, PSR, AR, PR atau BR adalah sekumpulan buruh(nya) rakyat yang digaji, disediakan fasilitas-fasilitas dan dijamin hidupnya hingga meninggal dunia sebatas kemampuan rakyat. Para petugas atau buruh yang digaji rakyat itu sementara ini menyebut dirinya Pemerintah.

Gedung-gedung perkantoran, misalnya, yang digunakan untuk bekerja oleh Camat, rumah dinas Bupati, mobil dinas Gubernur, fasilitas-fasilitas Presiden dan Menteri dan semua perangkat yang dipakai oleh Pemerintah, bukanlah milik Pemerintah, melainkan merupakan bagian dari fasilitas Negara yang seluruhnya dimiliki oleh rakyat.

Pada suatu hari bangsa kita akan mulai memahami pilah-pilah antara Rakyat, Negara dan Pemerintah. Sampai hari ini kita masih belum benar-benar beradab, karena membiarkan posisi rancu antara Negara dengan Pemerintah. Defacto kepegawaian bangsa ini adalah “Pegawai Sipil Pemerintah”, sehingga konsentrasi ketaatan mereka adalah kepada ‘atasan’ dalam struktur kepemerintahan. Bukan ketaatan kepada Undang-undang Negara, apalagi pengabdian kepada Juragan Agung yang bernama Rakyat.

Nanti akan ada hari di mana mereka bertransformasi menjadi Pegawai Sipil Negara, yang prinsip kewajibannya adalah menjalani pelayanan atau pengabdian kepada Rakyat. Transformasi kesadaran juga akan berlangsung pada pemahaman untuk membedakan antara Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintah, antara Lembaga Negara dengan Lembaga Pemerintah, asset Negara dan asset Pemerintah, bahkan Kas Negara dengan Kas Pemerintah. Umpamanya Badan Usaha Milik Negara tidak menyetorkan penghasilannya kepada Kas Lembaga Negara, bukan kepada Kementerian Keuangan di jajaran Pemerintah.

Sederhananya bangsa ini akan menyadari beda antara Keluarga dengan Rumahtangga, antara Kepala Keluarga dengan Kepala Rumahtangga, termasuk antara Almari Kas Negara dengan Laci Kas Rumahtangga, juga antara Bendahara dengan Kasir.

Minimal bangsa ini nanti akan belajar kepada Tri Bhuwana Tungga Dewi pemikir dan pengarif kebesaran Majapahit, kepada Hayam Wuruk dan Gadjah Mada, dalam hal tata kelola kesejahteraan Rakyat juragan mereka.

Pilihan kata ‘Pemerintah’ itu sendiri durhaka dan potensi dosa horisontal-vertikalnya sangat besar. Mereka suatu kelompok dari hamparan Rakyat yang dipilih untuk menjadi pelayan, yang digaji, difasilitasi dan dijamin hidupnya. Tidak ada jenis logika apapun di dunia dan akherat yang bisa menerima dan melegalisir bahwa mereka berhak memerintah. Masyarakat warung kopipun tahu bahwa yang memerintah adalah yang menggaji, dan yang diperintah adalah yang digaji.

Bangsa ini masih terbalik-balik tata letak saraf-saraf di otaknya. Rakyat mengangkat orang yang dibayar paling mahal dan diumumkan sebagai RI-1, bahkan dikhayalkan sebagai ‘orang besar’, dikerumuni dengan membungkuk-bungkuk, ditahayulkan sebagai ‘Satria Piningit’ dan diharapkan sebagai ‘Ratu Adil’. Padahal dia adalah TKI-1.

Orang besar ditanggungjawabi bayarannya oleh Allah karena totalitas iman dan pengabdiannya. Satria Piningit disutradarai oleh Tuhan ada tidaknya, hadir tidaknya, serta kapan waktunya. Ratu Adil adalah setiap manusia yang memfokuskan hidupnya melakoni apa saja di jalur Keadilan.

Dulu VOC membikin lembaga ‘Pangreh Praja’ dan ‘Pamong Praja’. Yang pertama ditugasi mengurus segala hal di rumahtangga Kraton. Yang kedua diperintah untuk mengurusi segala hal yang menyangkut kehidupan ‘Kawula’ atau (sampai semodern ini tidak ada kata yang mendekati kebenaran prinsipilnya kecuali) ‘Rakyat’.

Bangsa ini dihina dan menghina dirinya sendiri dengan menerima sebutan ‘Rakyat’. Rakyat adalah kumpulan manusia yang memegang atau memiliki kedaulatan dan menyepakati suatu sistem dan lembaga kepemimpinan (ra’iyat = kepemimpinan). Bangsa kita mau disebut dan rela menyebut dirinya Rakyat padahal mereka tidak berkedaulatan dan hampir selalu ditipu-daya atau minimal disogok untuk soal-soal kepemimpinan.

Masyarakat (syarika, syirkah) adalah sekumpulan manusia yang memiliki tradisi dan mekanisme untuk berserikat, sehingga memiliki landasan untuk menerapkan pola kepemimpinan. Ummat (umm = Ibu) adalah manusia-manusia yang berhimpun atas dasar seper-Ibu-an nilai. Bangsa Indonesia dilecehkan dan melecehkan dirinya dengan disebut dan menyebut dirinya dengan kata yang bertentangan dengan fakta kehidupan mereka.

Kata ‘Bangsa’ juga sudah kita bakukan sehingga taka da kemungkinan kata lain untuk menggunakannya. Karena secara internasional pemaknaan kata ‘Bangsa’ maupun ‘Negara’ selalu diombang-ambingkan oleh terutama kepentingan kapitalisme dan egosentrisme kelompok-kelompok besar yang berkuasa dalam skala global. Bertanyalah kepada anak-anakmu yang kuliah di Universitas apa definisi pasti tentang Negara dan Bangsa. Konfirmasikan kepada mereka apakah masih berlaku pengertian ‘Negara Bangsa’, bagaimana perubahan atau pembalikan pemahaman tentang Bangsa dan Negara? Atau apakah ‘Negara’mu ini defacto benar-benar Negara sebagaimana yang diajarkan oleh Dosen-dosen mereka?

Kita rela ditipu-daya untuk mengkerdilkan diri sendiri dengan meyakini bahwa Jawa adalah Suku, sebagaimana Bugis, Batak, Minang dll, kemudian kita dibodohi bahwa ‘Suku-suku’ itu terkumpul menjadi Bangsa Indonesia. Padahal kita adalah Kumpulan Bangsa-Bangsa, United Nations of Nusantara, dengan segala macam persyaratan terpenuhi untuk itu.

Di tengah posisi colonialized itu para pemuda malah bersumpah “Berbahasa satu, Bahasa Indonesia”. Dan sejak itu bahasa-bahasa Bangsa-bangsa seantero Nusantara yang sudah membangun Peradaban besar berabad-abad lamanya, kita yakini harus kita tinggalkan, kita sekunderkan, kita marginalkan. Padahal yang disebut Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu Pasar yang dipakai oleh kaum pedagang regional di Batavia. Punyakah kaum cendekiawan metoda untuk mengukur sebagerapa besar defisit sejarah, kebudayaan dan peradaban yang kita tanggung?

Kita berpikir bahwa kita sedang mengembangkan keberadaban kita dengan mempersatukan bahasa. Kita diajari untuk menuduh bahwa, umpamanya, sistem bahasa Ngoko, Kromo Madyo dan Kromo Inggil adalah hirarkhi feodalisme. Padahal kekayaan Peradaban batin dan keberbudayaan yang tercermin oleh pijakan-pijakan “roso” yang melahirkan tiga dimensi bahasa komunikasi itu – dilunturkan dan dimusnahkan dari jiwa semua Bangsa-bangsa Nusantara, untuk membuat kita semua menjadi manusia sempit yang berdialektika hanya berdasarkan posisi Subyek-Obyek-Predikat.

Kita berpolitik, berdagang, bergaul, bahkan beragama dalam posisi pragmatis untuk secara naluriah selalu meletakkan diri kita sebagai Subyek, dan orang lain siapa saja sebagai Obyek atau Predikat yang kita peralat. Struktur dialektika sosial Subyek-Obyek-Predikat sangat membukakan pintu untuk eksploitasi, penindasan, pemanfaatan dan manipulasi.

Demikianlah cara kita bergaul sehari-hari. Demikianlah budaya politik kita. Demikianlah incaran-incaran kapitalisme kita. Bahkan demikianlah perilaku kita dalam menjalankan Agama. Karakter utama kita dewasa ini adalah mengobyekkan dan memperalat siapa saja dan apa saja, termasuk kekuasaan birokrasi, hak rakyat dan kekayaannya. Salah satu kata paling popular dalam kehidupan sehari-hari adalah “ngobyek”.

Bangsa-bangsa yang men-suku-kan dirinya ini juga tidak belajar apa gerangan yang dinamakan Negara, sehingga mereka meyakini dan mengikhlasi sesuatu yang bukan Negara sebagai (dianggap) Negara. Mereka juga mencurangi makna kata, memanipulasi arti, menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun mereka meneruskan aspirasi penjajahnya dulu dalam berbagai hal yang menyangkut Tata Negara. Bahkan yang sudah dipalsukan itu dimelencengkan lagi: misalnya idiom Pamong Praja digunakan dengan bangga dalam penyempitan yang bernama Satuan Polisi Pamong Praja, yang tugasnya justru sangat ‘padat’ dan jauh dari kearifan kata ke-Pamong-an. Kekayaan makna batin, budaya dan keindahan “bebrayan’ yang dikandung oleh kata “Pamong”, kita aniaya menjadi palu kekuasaan, bahkan dengan watak kekerasan.

Alih-alih menumbuhkan kesadaran untuk coba-coba belajar apa gerangan ‘Pamong’ di dalam tradisi leluhur mereka sendiri, yang kemudian dimanipulir oleh kaum penjajah. Pamong, Pamomong, suatu prinsip pengabdian yang total dan bahkan ekstrem – meskipun para Pengabdi Rakyat atau Pegawai Negara Rakyat tidak dituntut untuk mengabdi sejauh itu.

‘Pamomong Bayi’ itu cakrawala pengabdian yang memacu kesadaran dan perasaan betapa tak terbatasnya keindahan mengabdi. Bagaikan Ibu yang momong bayi, yang ikhlas melakukan apa saja untuk bayinya. Tidak jijik kepada kotorannya, melindungi bayi lebih dari melindungi dirinya sendiri. Bahkan seorang Ibu Pamomong rela kehilangan apapun, hartanya, rumahnya, bahkan kedua bola matanya – asalkan tidak kehilangan bayinya.

Betapa pula jauhnya cakrawala prinsip tentang pengabdian itu dengan kenyataan ‘pengabdian’ para Pamong Praja Nusantara abad-21 atau dengan ‘cuaca mental’ para Pegawai Sipil Negara. Sedangkan dimensi kwantitatif Negara-Negeri Negara-Pemerintah saja masih terus batal dan najis secara ilmu kata dan makna. Apalagi dimensi kwalitatif makna-maknanya.

Padahal bangsa ini sudah 70 tahun berguru kepada Demokrasi: bahwa Rakyat adalah pemilik Tanah Air beserta isinya. Yang elementer dari ilmu Sekolah Dasar itupun masih belum lulus. Bahkan sebagian dari mereka sengaja merekayasa dan menciptakan suatu sistem kependidikan sosial, melalui berbagai macam perangkat dan institusi informasi, yang menghalangi jangan sampai bangsa ini lulus Ilmu Demokrasi.

Jangankan lagi meningkat ke smester berikutnya mempelajari Ilmu Demokrasi Semar, yang usia keilmuannya jauh lebih tua dan jauh lebih matang serta komplit disbanding Demokrasi Import yang mereka pelajari.

Demokrasi yang dipakai sekarang hanya menyangkut Subyek manusia, sementara Alam, Bumi dan kandungannya adalah Obyek atau Predikat alias Perangkat yang diperalat. Demokrasi Leluhur Bangsa-bangsa Nusantara memperlakukan Alam dan isinya sebagai partner pembangunan, sebagai Subyek dan sebagai sesama makhluk hidup, bahkan sebagai sahabat karib, sebagai kekasih yang disayangi.

Demokrasi Import meletakkan Presiden di titik paling puncak, dan rakyat di tataran paling bawah. Demokrasi Semar meletakkan Dewa yang berkwalitas tertinggi satu titik dan maqam dengan Rakyat. Demokrasi Improt gambarnya garis vertikal, Demokrasi Semar gambarnya garis siklikal atau bulatan. Demokrasi Leluhur dan Demokrasi Semar bersikap ilmiah, logis, memenuhi nalar akal, dan jernih jujur terhadap fakta kosmologis maupun teologis bahwa Kehidupan ini Bulatan.

Akan tetapi insyaAllah di masa depan yang dekat, para pelaku Demokrasi akan mulai mengenal Tuhan Yang Maha Tunggal (bukan Esa: sebab Esa atau Isa atau Isang atau Ika ada Dua atau Dwi atau Dalawang-nya da nada Tiga atau Tri atau Telu atau Tatlu-nya). Maka skala kesadarannya meluas dan meningkat: Tanah Air beserta isinya adalah milik Tuhan yang dipinjamkan sampai batas waktu yang Ia tentukan kepada makhluk-Nya, hamba-Nya, manusia-Nya, rakyat-Nya.

Tuhan yang membikin dan pemilik tunggal seluruh alam semesta beserta isi dan penghuninya, sehingga Ia berhak membatalkan ciptaan-Nya itu sekarang juga, berwenang mutlak untuk menyusun tradisi hukum ciptaan dan perilaku alam semesta, berwenang membuat gempa, gunung meletus, berwenang meluapkan air samudera, berhak membiarkan masyarakat manusia hancur, berhak tidak memperdulikan sebuah Negara runtuh, berhak menolong atau tidak menolong bangsa dari keruntuhannya, serta berhak membunuh semua binatang serta memusnahkan ummat manusia sebagian atau seluruhnya kapan saja Dia mau.

Alam semesta atau jagat raya disebut oleh peradaban, epistemologi dan filologi Jawa dengan ‘Bawono’, sedangkan makhluk hidup yang menghuninya dinamakan ‘Buwono’. Para Hamengkubawono, yang ditugasi mengelola Bawono adalah makhluk-makhluk ekstra-dimensi dari sudut pandang alam-kemanusiaan, para staf atau Malaikat yang berdimensi mengetahui manusia namun tak diketahui oleh manusia kecuali yang mengolah batin dan kelembutan jiwanya. Sementara Hamengkubuwono yang dimandati mengurusi Buwono, yakni isi dan penghuni alam semesta, khususnya bumi, disebut Khalifatullah, yang dalam hal ini dikhususkan untuk makhluk manusia.

Bahasa gampangnya: Hamengkubawono adalah Malaikat, yang berarti-harafiah rentang birokrasi Allah. Sedangkan Hamengkubuwono adalah Manusia, yang Allah menjulukinya sebagai Khalifah. Para Khalifah manusia dengan para Malaikat bekerja sama “mamayu hayuning bawono”.

Sedangkan para Pegawai Sipil Negara adalah Pangeran-pangeran Mangkubumi. Mereka diangkat dan difasilitasi oleh Rakyat untuk ‘memangku bumi’, mengelolanya menjadi kesejahteraan bagi para Majikannya serta dengan sendirinya bagi mereka sendiri. Di dalam ‘roso’ manusia Nusantara, Tanah Air disebut Ibu Pertiwi, bukan Bapak Pertowo. Pusat pengelolaan birokrasi penyejahteraan rakyat disebut Ibukota, bukan Bapakkota.

Tanah atau Bumi itu wanita. Manusia pengolahnya lelaki. Sawah itu wanita, petani lelaki yang mencangkuli dan menanaminya sehingga tumbuh ‘bayi’ kesejahteraan. Ibu Pertiwi adalah wanita, Pegawai Sipil Negara adalah lelaki ‘buruh tani’ yang mengolahnya. Simbolnya adalah Pangeran Lelaki yang me-mangku bumi. Peradaban dan kebudayaan Bangsa-bangsa Nusantara tidak mengizinkan lelaki memangku lelaki atau wanita memangku wanita.

Peristiwa memangku adalah peristiwa cinta dan kasih sayang. Yang memangku tidak menguasai yang dipangku. Yang dipangku tidak diperintah dan ditindas oleh yang memangku. Memangku adalah tindakan pengabdian, kesetiaan, kesabaran dan pengorbanan. Juga jangan lupa: kenikmatan.

Berlangsung dinamika pangku-memangku. Tanah Air memangku penghuninya. Di konteks lain Khalifatullah memangku Tanah Airnya. Rakyat menjunjung, memangku dan ‘ndulang’ atau memberi makan minum kepada Pegawai Sipil Negara. Pada dimensi lain Pegawai Sipil Negara memangku Rakyat yang menghidupinya. Pegawai Militer Negara menjaga ketenteraman pangku-memangku itu.

Kalau Pegawai Negara atau Abdi Rakyat tidak sanggup mengalami dan menemukan betapa nikmatnya pangku-memangku dengan Rakyat, apalagi kalau potensi kenikmatan itu hilang dari jiwa mereka karena ditutupi oleh ‘ideologi’ “ingin dapat duit lebih banyak dan lebih banyak dan lebih banyaaaaaak lagi” – tak ada gunanya ia meneruskan pekerjaan yang menyiksanya itu. Karena sudah pasti cara paling effektif untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya adalah merampok. Kalau sekedar berdagang, uang datang sangat lamban, bahkan mungkin bangkrut.

Akhirul-kalam, para Khalifah di Bumi Nusantara, banyak yang mengidap tiga penyakit gila: kekayaan, popularitas dan kebesaran. Mereka meletakkan tiga hal itu sebagai substansi primer hidup mereka, hingga dijadikan tujuan dalam melakukan pekerjaan apapun. Karena tiga penyakit gila itu dianggap ‘nilai pokok’ kehidupan, maka mereka memilih orang popular dijadikan pemimpin atau pejabat, dengan membuang prinsip dan parameter substansian kepemimpinan. Mereka melakukan pencitraan untuk memalsukan kekerdilannya menjadi seolah-olah kebesaran. Dan mereka mendaki kursi jabatan dengan bekal kekayaan, baik dari miliknya sendiri atau dari konsorsium sponsornya. Maka seluruh masyarakat tak bisa menginjak rem proses sejarahnya untuk terperosok menuju jurang Pralaya, Tahlukah atau Penghancuran.

Padahal hakekatnya tiga hal itu adalah bonus, hadiah, ‘pahala’, bahkan ‘resiko’. Mereka tidak mampu membedakan mana jalan mana tujuan, mana sebab mana akibat, mana isi mana bentuk, mana keris mana warangka.

Mereka menjalani hidup dengan salah niat. Beribadah tidak untuk Tuhan, tapi untuk memperoleh sorga. Padahal kalau mencari Tuhan, diperolehnyalah sorga.

Hidup adalah mematuhi skenario Tuhan, menyesuaikan diri dengan hukum alam, mematuhi Matematika yang suci (5 x 3 selalu = 15, dan tidak bisa berubah meskipun disogok seberapa milyar rupiahpun, serta tetap 15 meskipun Kaisar atau seratus batalyon tentara manapun memerintahkannya untuk menjadi 17 atau 13). Bekerja jujur, menegakkan akal sehat dan kecerdasan, menikmati kewajiban dan tangguh untuk tidak terlalu gatal terhadap Hak, membuat semua yang lain merasa aman dan nyaman, membangun kepercayaan – maka kemasyhuran, kebesaran dan kekayaan akan menjadi akibat otomatis dari itu semua. Bahkan barang siapa memfokuskan hidupnya untuk mengejar kekayaan, ia tidak akan pernah mengetahui apa sejatinya kekayaan. Bahkan nanti di usia pensiunnya ia mengerti telah ditipu oleh apa yang sepanjang hidup dikejar-kejarnya. ***


Yogya 14 Mei 2015.

*copas total dari CakNun.com ..... maturnuwun Cak .......... #sungkem
12.01.2015
Posted by ngatmow

dilematis literasi visual versi saya

Membaca sebuah kalimat dari tulisan senior saya kak Radityo Widiatmojo dalam blognya fototiptrik.blogspot.co.id,  .....Fotografi akan lebih bermakna jika digunakan sebagai medium bercerita bukan sebagai pengumbar hawa...... mengundang senyum lebar di bibir saya yang katanya seksi ini. Hehehe....

Kenapa?
Sebab saya sangat setuju sekali dengan kalimat tersebut man... Kalimat yang seolah olah menceritakan apa yang sedang terjadi dan menjadi trending topic di dunia fotografi belakangan ini. Memang sih tidak semuanya pelaku fotografi (baik itu penggemar, penghobi maupun pekerja foto) berlaku seperti itu, namun apa yang terjadi di lingkungan saya terutama di kalangan anak anak muda (yang tentu saja seumuran dengan saya dan yang lebih muda lagi) menunjukkan kecenderungan bahwa hal tersebut adalah benar adanya.

Terkadang miris juga sih melihat atau membaca atau menjumpai anak muda seumuran saya yang masih eSeMA bercerita kepada temannya bahwa dia mau memotret seorang model dengan busana "minimalis" bersama teman-teman "fotografernya" (alias keroyokan) di suatu tempat yang menurut saya bahkan kalau disambungkan dengan busana yang diceritakannya itu sama sekali nggak nyambung temanya.....
Apakah ini bukan yang namanya pelecehan berkedok fotografi ??
Maaf bila salah, namun menurut saya hal tersebut sangat sangat tidak masuk akal dan menimbulkan banyak tanda tanya besar di kepala saya. Apa fotografi bagi dia hanya sebatas itu saja? apakah dia seorang fotografer hebat yang kemudian mendapatkan bayaran super besar setelah sesi pemotretan? atau hanya kemudian hanya untuk mendapatkan tanda jempol luar biasa banyak di media sosial semacam Fesbuk, Twiter atau Ige ?
Dan kenapa ada seorang perempuan muda nan cantik yang mau tubuhnya diabadikan sedemikian detil (bahkan hingga lubang pori-porinya kelihatan) untuk kemudian diekspos sedemikian sehingga di media sosial? dimana harga diri dan norma yang seharusnya dijaganya?

Entahlah..... mungkin saya yang terlalu kuno atau tidak kekinian. Tapi jujur saja, sebagai seorang ayah dari seorang anak perempuan dan seorang kakak dari beberapa adik perempuan, juga seorang anak dari seorang perempuan hebat, hati nurani saya sangat sangat tidak menyetujui hal semacam itu.........

Dalam tulisannya kak kak Radityo Widiatmojo juga menulis soal salah satu saran yang banyak disarankan fotografer hebat nan berpengalaman adalah "follow your passion"... yang bahkan kalimat tersebut berlaku di bidang-bidang lain selain fotografi. Menurutnya mengikuti kata hati bisa berdampak besar terhadap hidup kita dan harus diakui hal itu memang benar adanya man, karena biasanya dikaitkan dengan pilihan-pilihan sulit dalam hidup. Namun apa jadinya bila jika anda membaca sebuah kalimat "PASSION SAYA DI FOTO MODEL..."?

Berikut sedikit penggalan tulisan beliau yang cukup menggelitik bagi saya, namun saya SANGAT MENYETUJUINYA.

Pernyataan "PASSION SAYA DI FOTO MODEL.." memang syah syah saja dan tidak salah. Namun ini menunjukkan barometer literasi visual fotografi di tanah air. Di Indonesia banyak sekali bertebaran klub foto yang mengadakan "hunting model". 1 model bisa digruduk 10-30 orang. Saya tidak munafik, saya dulu juga seperti itu, pernah mengalami hal demikian, pernah merasakan euforia motret model ditengah hiruk pikuk kerumunan fotografer yang masih dalam tahap belajar. Sekali lagi saya pernah merasakannya. Asyemmmm. Asyemmm karena sadar bahwa literasi visual saya saat itu begitu dangkal. Hasyem karena tidak seharusnya memperlakukan seorang model seperti itu. Tidak terjadi komunikasi antara model dan fotografer kan. Lha wong sang model dipanggil, "mbak'e noleh sini.." "mbak, mbak noleh atas mbak.." "Non, kiri kiri Non.." "Oke mbak, sekarang noleh ke saya ya mbak Manis..." Jika saya jadi modelnya ya amsyong lah. Model juga manusia bung, janganlah jadikan beliau sebuah objek yang dinikmati secara fotografis dan masif. Berkaitan dengan literasi visual, nampaknya literasi visual dalam satu dekade ini "masih" lebih banyak berseliweran foto-foto model dalam lini masa sosial media mereka, sehingga memaksa seseorang untuk melontarkan pernyataan "PASSION SAYA DI FOTO MODEL" secara sadar dan bangga.

Hunting model bagi saya adalah aktifitas untuk memenuhi hasrat indrawi para penghobi fotografi dan bukan sebagai ajang edukasi yang pas. Outputnya pasti jelas di upload di internet, yang berarti menambah kontribusi literasi visual foto model, emboh model opo. Jika mengatas-namakan "Sama-sama Belajar" antara model dan fotografer, mengapa tidak dikemas dalam format yang lebih edukatif dan interaktif? Satu mentor, satu model, dan maksimal 4 fotografer-lah. Jangan satu model dihajar habis orang 10 lebih. Di Sydney memang ada model motret grudukan seperti ini, tapi bukan model. Istilah motret bareng itu "Photo Walk", lebih ke arah dokumenter, landscape, street atau arsitektur. Kalau mau bikin "portrait" seorang model, teman-teman saya cenderung di studio untuk belajarnya, dengan format 1 model untuk 1 fotografer dan 2 asisten (1 model 1 fotografer). Begitu sang model dan fotografer sudah pede dan "mengenal" karakter masing-masing, maka mereka akan janjian lagi untuk pemotretan outdoor. Moda seperti itu jauh lebih efektif jika mengatas-namakan "Sama-sama Belajar". Bagaimana dengan lomba motret model yang rame-rame juga? Kalau itu bisa diapresiasi karena memang model profesional di bayar dengan profesional pula.

"Lantas apa yang bikin dilematis? Kan suka-suka saya ingin motret apa. Haknya saya kan. Kamera-kamera saya sendiri. Foto-foto saya sendiri. Facebook-facebook saya sendiri. Apa hak anda cawe-cawe passion saya?" Mungkin lontaran pertanyaan bernada offensive seperti ini akan memelihara jenis pembelajaran (motret model grudukan) tetap menjadi primadona. Seakan foto Model dan motret grudukan adalah dua sejoli yang tidak bisa dilepas.

Lantas?

Meskipun motretnya tidak grudukan, namun sosial media juga mengundang dan menggelitik fotografer untuk menggunggah foto Model di komunitas yang banyak penggemar foto Model. Lantas, sosial medialah yang menjadi tujuan akhir. Bukan rahasia umumlah jika upload foto di sosmed itu kabur batasannya antara "sharing", "minta saran" atau "pamer". Coba saja lihat berbagai group fotografi di FB, banyak sekali saya ditemui foto-foto (mohon maaf) tidak seronok/vulgar, tidak pantas dan berujung pada pamer kebinalan dari mata fotografer. Lebih binal lagi yang komentar, aduhhhhh benar-benar merusak komunitas fotografi di Indonesia deh.

Lantas (lagi) ada rekan saya dari negara tetangga yang bertanya "Lha piye je solusine?" Ya lha yo modyar kalau saya disuruh membuat solusinya, itu hak mereka atas bagaimana menggunakan karunia terindah dari Sang Pencipta, berupa mata. Gunakanlah mata fotografis anda dengan bijaksana, janganlah menindas tubuh atas nama "belajar" apalagi atas nama cinta.


Kalimat terakhir adalah kalimat yang menurut saya sangat menusuk hati yang terdalam. Hehehe........ sebab banyak pemahaman (terutama bagi mereka yang sudah saya sebutkan diatas) tentang fotografi (terutama model, portrait dan fashion) yang pada akhirnya secara tidak langsung akan menyentuh langsung pada  hal tersebut.

Bagi saya pribadi, fotografi merupakan sebuah wahana dimana kita bisa mengabadikan semua hal, semua moment, dan segala apa yang bisa kita lihat dan nikmati untuk kemudian dibagikan kepada orang lain untuk dinikmati bersama sama. Tidak hanya yang indah dan harus berbentuk sesosok tubuh menawan dengan balutan busana minimal saja, tapi juga segala hal yang ada di sekeliling kita sebagai bentuk keperdulian kita terhadap lingkungan.
Tapi satu hal yang begitu penting dan musti kita pahami sebelumnya (namun sering dilupakan oleh mereka-mereka, temen-teman yang hanya mengejar nafsu indrawinya saja) yaitu bagaimana belajar memahami kamera dan bagaimana membuat foto yang baik dengan beragam genrenya. Tidak lupa juga belajar menjadi santun dalam berfotografi adalah proses yang harus dilatih setiap hari. Fotografer juga manusia, kan? Kita bisa selalu berempati dan bersimpati.

Ingat kisanak, fotografer adalah orang yang paham dengan nilai seni dalam hasil jepretannya di mana letak keindahan atau nilai seninya karena bisa dinikmati siapa saja dan siapapun harus menerima keindahan dengan rasa enak, nyaman akhirnya ihlas menerimanya, jadi seni itu indah dalam format kebersamaan, tidak indah apabila cuma dinikmati dan memberi rasa puas hanya sepihak saja.
Menurut saya pendidikan dalam konteks seni dalam hal jepret menjepret dengan kamera khususnya fotografi juga otomatis seharusnya mengajarkan manusia Indonesia terutama fotografer kita supaya punya tata krama/etika. Jadi fotografer jangan hanya menuruti hawa nafsu saja man, namun juga masih banyak hal lain yang juga harus diperhatikan, dipahami dan diamalkan sehingga menjadi satu kesatuan yang kemudian bisa dipertanggung jawabkan secara moral dan spiritual....halah............

Sudah itu saja..............
11.10.2015
Posted by ngatmow

Canon PhotoMarathon Indonesia 2015 Jogja................

Canon PhotoMarathon Indonesia (CPMI) kembali digelar tahun ini di Indonesia, dan kota Yogyakarta terpilih menjadi kota pelaksanaan pembukaan rangkaian CPMI 2015 (bahkan pembukaan CPM se Asia juga) pada tanggal 11 Oktober lalu yang kemudian akan digelar juga di Bali pada tanggal 18 Oktober dan Jakarta tanggal 24 Oktober. Selain Indonesia, Canon PhotoMarathon Indonesia 2015 yang merupakan bagian dari Canon PhotoMarathon Asia 2015, juga diselenggarakan di 10 negara lainnya, yaitu: Brunai Darusalam, Hong Kong, India, Kamboja, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, dan Vietnam.

Wow........

 “Canon PhotoMarathon Indonesia 2015 tidak semata-mata menjadi ajang kompetisi foto, namun acara ini juga berperan sebagai wadah silaturahmi para penggemar fotografi dari berbagai daerah dan sarana menambah ilmu. Hal ini terlihat dari semakin beragamnya kalangan masyarakat yang mengikuti ajang ini dari tahun ke tahun, mulai dari pelajar, karyawan baik itu pemula maupun yang sudah lama berkecimpung di dunia fotografi. Tahun ini, Yogyakarta menjadi tuan rumah untuk kali kelima. Hal ini karena antusiasme peserta yang luar biasa, sekaligus menjadi tempat favorit para pecinta foto untuk berkumpul,” Merry Harun – Direktur Divisi Canon, PT. Datascrip.


Sedikit cerita, kompetisi bergengsi ini tidak dibatasi hanya untuk pengguna kamera Canon saja, namun terbuka juga bagi seluruh pengguna kamera digital merek apapun, baik DSLR, mirorrless ataupun kamera saku. Kreativitas menjadi tantangan utama untuk mendapatkan karya terbaik dengan tema dan batas waktu yang sudah ditentukan panitia. Hal itulah yang mengundang banyak sekali fotografer yang bersedia merelakan waktunya untuk beradu dan berkompetisi di ajang ini. Tidak heran bila kemudian ada 1909 peserta memadati GOR Universtitas Negeri Yogyakarta pada tanggal 11 Oktober kemarin untuk memperebutkan total hadiah ratusan juta rupiah, serta hadiah utama berupa perjalanan klinik foto ke Jepang.

Ada sesuatu yang menarik perhatian saya (yang juga berada di TKP sebagai peserta pemula), pada CPMI 2015 Yogyakarta ini terlihat banyak sekali (atau bahkan mungkin berjumlah sampai ratusan) fotografer muda yang masih duduk di bangku sekolah. yang mana mereka adalah peserta Canon PhotoMarathon Indonesia 2015 kategori Pelajar yang sengaja dikelompokkan tersendiri dengan harapan agar mereka dapat berkreasi dan berkompetisi di antara mereka dengan lebih percaya diri.



Pada pelaksanaannya, Lomba terbagi dalam tiga sesi dan peserta dibatasi waktu pada setiap sesinya. Setelah tata tertib dan peraturan dibacakan, panitia langsung mengumumkan tema 1, yaitu “Gotong Royong”, tema 2 “Tradisi Leluhur”, dilanjutkan kemudian dengan tema 3 yaitu “Sembunyi”.

Foto-foto terbaik dari hasil jepretan para peserta sejak pagi hingga siang hari langsung dinilai oleh dewan juri yang terdiri dari para fotografer dari latar gaya pemotretan yang beragam, yaitu Kenvin Pinardy (Fotografer Profesional), Risman Marah (Fotografer Profesional & Pewarta Foto), Sutomo (Fotografer & Pewarta Foto), Misbachul Munir (Fotografer Profesional & Pewarta Foto), Budi Prast (Pewarta Foto) dan Heru Chandra (Manajer Divisi PT. Datascrip).

Selama proses penjurian, para peserta disuguhi dengan sesi hunting foto model, aneka hiburan dan games dengan hadiah menarik. Tak hanya itu, para peserta pun dibekali dengan ilmu fotografi berharga dari sesi seminar fotografi yang mendatangkan langsung pembicara kelas dunia, Justin Mott, seorang fotografer profesional yang karya-karyanya telah dipublikasikan di New York Times, TIME dan Forbes. Para peserta pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan langka ini dan berlomba-lomba mengajukan beragam pertanyaan kepada Justin. Ia juga merupakan fotografer profesional yang tampil di tayangan reality show kompetisi foto paling bergengsi se-Asia, Photo Face-Off.

Akhirnya, setelah dibacakan hasilnya tampil sebagai juara umum Canon PhotoMarathon Indonesia 2015 Yogyakarta adalah Muhammad Nurudin yang kemudian berhak membawa pulang 1 unit kamera DSLR Canon EOS 100D dan perjalanan phototrip ke Jepang . Bersama dengan juara umum dari Jakarta dan Bali, mereka akan dikumpulkan dengan juara utama dari negara penyelenggara Canon PhotoMarathon Asia 2015 lainnya.

Lha saya? seperti biasa, nampaknya kali ini saya berhasil mendapatkan ZONK dan sepertinya harus lebih banyak belajar motret lagi bersama teman teman senasib dan seperjuangan. Tentu saja dengan sebersit harapan agar tahun tahun berikutnya bisa ikut CPMI lagi dengan hasil yang lebih baik lagi......Amin.....


Info selengkapnya bisa cek www.canon-asia.com/photomarathon
10.12.2015
Posted by ngatmow

siapakah dalang G30S PKI yang sebenarnya ?

Sudah lama nggak menengok forum sebelah dimana saya banyak belajar menulis, iseng iseng baca soal sejarah (itung itung mumpung pas tanggal 30 September yang "katanya" hari bersejarah bagi bangsa ini. Nah disitu saya nemu sebuah tulisan yang menarik, bahkan sangat menarik bagi saya, yaitu tulisan mas Andi Firmansyah yang menulis soal siapa dalang G30S/PKI sebenarnya.

Yup, sebuah gerakan pemberontakan di masa lalu (bahkan sebelum saya direncanakan oleh orang tua saya. Namun berdasarkan pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah dan Pengetahuan Bangsa) yang saya terima di SD dulu, kemudian berlanjut jaman putih biru dan abu abu) yang sempat sangat mengancam stabilitas nasional dan kemerdekaan bangsa ini. Yang ternyata dibalik itu semua, ada satu rahasia besar yang sampai saat ini belum terungkap jawabannya.


Ada banyak versi yang menggambarkan siapa-siapa saja dalang dibalik peristiwa G30S/PKI. Ada yang mengatakan Presiden Sukarno, PKI, CIA bahkan pahlawan yang menumpas gerakan tersebut pun dikatakan bagian dari dalang tersebut, yaitu Presiden Suharto. Sebenarnya sangat sulit sekali menguraikan misteri Gerakan 30 September/PKI tersebut karena semua pihak yang dikatakan sebagai dalang punya kepentingan masing-masing terhadap gerakan tersebut. Untuk itu saya akan uraikan sedikit kisah peristiwa tersebut berdasarkan buku-buku yang pernah saya baca tentang G 30 S/PKI agar gampang kita untuk menganalisa Siapa sebenarnya dalang dari peristiwa tersebut.
Buku- buku tersebut adalah:
· Coen Holtzapel, Plot TNI AD – Barat Di Balik Tragedi’65, Tapol ;MIK; Solidamor, Jakarta, 2000
· A.C.A Dake, The Spirit of the Red Banteng: Indonesian Communism between Moscow and Peking 1959-1965
· Tahun yang Tak Pernah berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Elsam;ISSI;Tim Relawan untuk Kemanusiaan,Jakarta, 2004
· Tatik S. Hafidz, The War on Terror and the Future of Indonesian Democracy, IDSS,2004
· Dokumen CIA, Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S 1965, Hasta Mitra, Jakarta,2000
· Kerstin Beise, Apakah Soekarno Terlibat G30S?, ombak, Yogyakarta,2004
· Harsutejo, G30S Sejarah yang Digelapkan, Hasta Mitra, Jakarta, 2003

Pemicu G30 S adalah adanya isu atau rumor tentang Dewan Jendral. Isu ini menimbulkan reaksi tidak hanya para dedengkot PKI tapi juga Presiden Sukarno. Untuk mengantisipasi adanya isu Dewan Jendral yang akan mengadakan Kudeta pada 5 Oktober 1965, maka Presiden sukarno melaui orang-orangnya membentuk apa yang disebut Dewan Revolusi. Mulanya gerakan ini hendak diberi nama Dewan Militer tapi tidak jadi karena ditentang oleh salah seorang dalang dari gerakan tersebut yaitu Syam Kamaruzzaman, wakil Aidit di Biro Khusus yang dulunya ketua Partai Serikat Buruh Pelabuhan. Untuk mendahului gerakan Dewan Jendral tersebut maka Dewan Revolusi memandang penting untuk melakukan gerakan dalam upaya menyelamatkan kedudukan presiden sekaligus masa depan PKI. Maka atas saran dari D.N Aidit, Presiden Sukarno memerintahkan Men/Pangau laksamana Omar Dani untuk menyelesaikan masalah ini secara damai. Oleh Omar Dani karena ini gerakan tertutup maka garis komando harus dibuat terputus-putus mirip gerakan terorisme.

Disinilah factor yang membuat G30S diselimuti oleh misteri yang akan saya jelaskan kemudian. Omar Dani lantas mengutus orang kepercayaannya, Brigjen Suparjo, yang waktu itu Pangkopur Kalimantan Timur untuk balik ke Jakarta dan menjalankan misi ini. Untuk menjalankan misi ini agar garis komando menjadi terputus, maka Brigjen Suparjo mengangkat Mayor Sujono ( Komandan Resimen Pertahanan Pangkalan, Indoktrinator KONTRAR, orang yang melatih sukarelawan dan sukarelawati sebanyak 1000 orang sebagai cikal bakal angkatan ke 5), Kolonel A. Latief (Komandan Brigif I) dan letkol Untung ( Komandan Yon I Tjakrabirawa).
Untuk melaksanakan misi ini mereka mempersiapkan beberapa pasuka seperti: - Brigif I - Yon I Tjakrabirawa - Yon Raiders 454 Diponegoro - Yon Raiders 530 Brawijaya Untuk itu mereka menggunakan: - Penas sebagai Cenko (Central Komando) - Kenderaan-kenderaan Depo Angkutan - Senjata yang ada di gudang AURI Gerakan ini dibagi kepada tiga satuan tugas yaitu:
 - Pasopati dibawah Lettu Dul Arif
 - Bimasakti dibawah Kapten Suradi
 - Pringgodani dibawah Mayor Sujono dan Mayor Gatot Sukrisno
Tujuan dari gerakan ini adalah menculik para jendral yang nantinya akan dihadapkan kepada Presiden Sukarno yang telah berada di Bandara Halim PerdanaKusuma untuk dimintai keterangan berkisar isu Dewan Jendral.

Tapi ternyata pelaksanaan tak sejalan dengan perencanaan. Ditengah misi, ketujuh jendral yang diculik malah dibantai dan tak pernah dihadapkan sama sekali dengan Presiden Sukarno. Tindakan ini tentunya mengundang amarah dari Presiden Sukarno. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Akhirnya yang bisa dilakukan Presiden Sukarno adalah menyingkir ke Madiun untuk menghindari konflik dengan Angkatan Darat yang salah satu Jendralnya berhasil lolos dari penculikan. Seterusnya mungkin telah banyak kita ketahui, dimana Angkatan Darat kemudian menguasai keadaan dan berusaha menumpas habis PKI bahkan sampai ke anak cucunya kelak. Yang menarik untuk di analisa dan dibahas adalah intrik dibalik peristiwa tersebut.

Benarkah Adanya Dewan Jendral? 
Benar(Dokumen CIA, Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S 1965, Hasta Mitra, Jakarta,2000). Tapi masih dalam bentuk wacana. Setelah gagal dengan PRRI/Permesta dan Peristiwa Cikini, CIA mendekati Ahmad Yani yang waktu itu sedang tugas belajar di Amerika untuk membentuk apa yang disebut Dewan Jendral dalam upaya melakukan kudeta. Ahmad yani pernah mengutarakan ide CIA ini kepada para sohibnya di Angkatan Darat, namun urung dibentuk karena mereka sendiri masih pro dan kontra terhadap ide tersebut.

Mengapa Presiden Sukarno tidak bereaksi?
Presiden Sukarno bereaksi tapi tidak dengan cara mengutus para anggota CPM untuk memanggil para jendral yang diindikasi terlibat dalam Dewan jendral tersebut karena apabila tidak terbukti maka itu akan mempermalukan Presiden sendiri dan tentunya makin menanamkan sikap antipati Angkatan Darat terhadap Presiden Sukarno. Untuk itulah G30S dibuat. Maksudnya agar Presiden dapat menginterogasi para jendral tersebut dan menanyakan kebenaran isu tersebut walaupun pada pelaksanaannya menjadi berbeda.

Mengapa Presiden Sukarno mengutus Laksamana Omar Dani untuk melaksanakan misi tersebut? 
Presiden Sukarno tidak pernah mengutus siapapun untuk memulai misi ini. Hanya presiden pernah berkeinginan untuk mengkonfirmasi tentang isu tersebut. Misi tersebut adalah murni idenya D.N Aidit yang disampaikan kepada Presiden dan Presiden Sukarno setuju dengan ide tersebut dan meminta Laksamana Omar Dani untuk membantu gerakan tersebut. Sebagai loyalis dan orang dekat presiden, tentunya laksamana Omar Dani tak dapat menampik tugas yang diembankan Presiden kepadanya.

Siapakah otak dari gerakan tersebut? 
Syam Kamaruzzaman. Syam yang mengatur strategi dan melaporkan kepada D.N Aidit. Itulah mengapa dilapangan peran Aidit tidak nampak sekali. Dalam gerakan tersebut ada beberapa nama yang sangat berperan sekali yaitu dari pihak sipil Syam kamaruzzaman, Pono dan Bono sedangkan dari pihak militer Mayor Sujono, Kol. Latif dan Letkol. Untung.

Pada akhirnya baru ketahuan bahwa Syam ternyata Double Agent. Syam ternyata juga adalah agen CIA. Jadi dalam hal ini Aidit telah menjadi korban anak buahnya sendiri. Tak disangka dalam tubuh PKI sendiri ada infiltrasi yang dilakukan oleh CIA seperti juga di Angkatan Darat.
Lantas apa peran Brigjen Suparjo? Brigjen Suparjo adalah bawahan langsung Laksamana Omar Dani. Tak ada yang tahu apa peran Brigjen Suparjo dalam misi ini. Tapi kalau melihat pergerakan pasukan yang hamper satu divisi, secara militer, tak mungkin hanya dipimpin oleh perwira menengah seperti Kol. Latif dan Letkol. Untung. Mungkin disitulah peran brigjen Suparjo.

Adakah keterlibatan PKI pada peristiwa tersebut? 
Secara organisatoris tidak ada. Hanya oknum yang bermain disitu melalui yang disebut Biro Khusus. Biro Khusus sendiri hasil bentukan D. N Aidit sebagai ketua partai dimana Ketua Biro Khusus itu adalah Syam dan wakilnya Pono. Itulah mengapa gerakan tersebut tidak berhasil karena tidak didukung oleh seluruh simpatisan partai. Biro Khusus sendiri mempunyai kedudukan paling tinggi dalam intern partai. Kedudukan yang sama sekali ditentang oleh banyak simpatisan PKI sendiri.

Adakah Keterlibatan Suharto dalam Hal ini?
Dari beberapa bukti – bukti yang pada akhirnya terungkap didapat bahwa sebagai agen CIA, Syam ternyata punya hubungan dekat dengan orang-orang Angkatan Darat termasuk Suharto. Itulah mengapa banyak pengamat mengatakan bahwa dalang yang sesungguhnya dari peristiwa ini adalah Amerika melalui CIA dengan tujuan menyingkirkan PKI dengan haluan komunisnya dan Presiden Sukarno yang dianggap paling berbahaya dengan pemikirannya ketimbang Kruschev ataupun Mao. Gerakan ini memang sengaja dirancang untuk gagal. Agar lebih mudah memprovokasi rakyat Indonesia, maka disusunlah scenario berdarah tersebut.

SKENARIO BERDARAH VERSI CIA 
Syam diupayakan agar menjadi orang kepercayaan Aidit. Kemudian Syam melontarkan isyu Dewan Jendral yang waktu itu masih wacana. Presiden merasa terancam. Aidit panik dan mencoba berdiskusi dengan orang kepercayaannya sekaligus orang yang menurut Aidit banyak tahu tentang Dewan Jendral tersebut siapa lagi kalau bukan Syam Kamaruzzaman. Syam merasa pancingannya mengena lantas menelorkan ide G 30 S. Aidit setuju begitu juga Presiden Sukarno. Syam mengambil alih pimpinan karena merasa memiliki ide dan tahu banyak tentang strateginya. Syam minta bantuan militer yang akhirnya dijawab Presiden Sukarno dengan meminta Laksamana Omar Dani yang mengaturnya. Syam lantas menyusun para perwira yang pantas untuk memimpin eksekusi.

Untuk itu Syam meminta saran Suharto. Lantas Suharto memilih orang – orang dekatnya yang menurutnya dapat dipercaya yaitu Kol. Latief dan Letkol. Untung. Padahal ada banyak perwira yang lebih mampu ketimbang mereka berdua. Untuk Kol. Latief misalnya, padahal masih ada Mayor Sigit yang mampu memimpin satu batalyon tapi tidak dipilih. Sedangkan untuk Letkol. Untung, masih ada Maulwi Saelan yang lebih pantas memimpin pasukan Tjakrabirawa. Jawabannya karena Kol. Latief dan Letkol. Untung mempunyai hubungan dekat dengan Suharto. Kol. Latief adalah bekas anak buah Suharto dan masih sering berhubungan baik secara formal maupun non formal. Bahkan malam tanggal 30 September 1965 Kol. Latief melapor pada Suharto bahwa malam tersebut dia akan bergerak bersama Letkol. Untung. Tapi Suharto sama sekali tidak melarang gerakan tersebut.

Ada apa dengan Suharto? Yang pasti Suharto dipersiapkan CIA untuk menunggu langkah selanjutnya. Keberadaan Letkol. Untung di Tjakrabirawa juga mengindikasikan bakal ada gerakan terselubung karena Letkol. Untung baru saja di mutasi di Yon I Tjakrabirawa yaitu pada bulan Mei. Keberadaan mereka berdua sudah jelas untuk mempermudah koordinasi agar Suharto tahu posisi lawan yang hendak ditumpas. Satu yang menarik lagi yaitu daftar orang-orang yang di culik dimana Mayjen Suprapto(Deputi II Men/Pangad)dan Mayjen Haryono(Deputi III Men/Pangad) masuk dalam daftar penculikan sedangkan Deputi I Men/Pangad mengapa tidak masuk daftar? Karena posisi itu ditempati oleh Suharto. Cuma yang jadi pertanyaan, apakah Suharto tahu kalau rencana penculikan itu berubah menjadi pembantaian? Itu yang masih menjadi tanda tanya. Kalau seandainya Suharto tahu bahwa rencana itu akan dibelokkan, berarti secara tidak langsung Suharto terlibat dalam pembunuhan rekan-rekan seperjuangannya sendiri. Selanjutnya setelah malam kejadian, maka Suharto pun bergerak dengan menggunakan pasukan RPKAD melakukan serangan ke Halim Perdanakusuma, itupun karena dia sudah tahu bagaimana kekuatan lawan yang bakal dihadapinya.


Jadi kalau berdasarkan analisa saya, siapa dalang G 30 S/PKI? Dia tak lain dan tak bukan adalah bangsa yang tak pernah senang melihat Negara lain mandiri, maunya terus bergantung kepada mereka, dialah Uncle Sam…

ah entahlah...............

Tulisan asli : kompasiana.com : siapakah dalang g30s pki yang sebenarnya ? by : andi firmansyah 
Sumber Gambar : Mbah Google
9.30.2015
Posted by ngatmow

Mengulas Festival Serayu Banjarnegara 2015 dari sisi tukang foto abal abal macam saya

Dalam Festival Serayu Banjarnegara 2015, ada beberapa acara yang menjadi sub-event dalam kegiatan "besar" warga Banjarnegara ini. Diantaranya adalah Banjar Banjir Dawet, Parade Budaya, Pesta Parak Iwak, Banjarnegara Expo, Kongres Sungai Indonesia, aneka lomba pelajar yang bertema Sungai Serayu, sampai Banjarnegara Night Carnival yang baru pertama kali diadakan pada tanggal 29 Agustus 2015 yang lalu.


Secara keseluruhan acara yang berlangsung hampir selama bulan Agustus ini sanggup menarik animo masyarakat Banjarnegara dan sekitarnya untuk ikut "berpesta". Masyarakat juga secara tidak langsung diajak untuk semakin menyayangi Sungai Serayu yang membentang di sepanjang Kabupaten Banjarnegara dari ujung timur hingga ujung Barat dimana kemudian berlanjut melewati Banyumas dan berakhir di Cilacap (Laut Selatan). Bahkan, selama pelaksanaan Festival Serayu tahun 2015 ini, masyarakat (terutama pedagang) mengaku merasakan peningkatan pendapatan mereka dengan cukup signifikan.

Hal tersebut bisa diartikan bahwa sebenarnya dengan adanya kegiatan wisata dan event berskala nasional yang digelar di Banjarnegara mampu ikut mendorong laju perekonomian warga masyarakatnya. Dan ini berarti pemerintah harus lebih tanggap, lebih jeli dan mau untuk peduli dengan mengusahakan diadakannya kegiatan semacam ini atau kegiatan berskala besar lain lebih sering lagi.

Satu hal lagi adalah bahwa pelaksanaan Festival Serayu Banjarnegara yang digelar setiap 2 tahun sekali ini mampu mengangkat nama Banjarnegara menjadi lebih dikenal lagi di kalangan para maniak travelling. Ini sangat penting kisanak. Bagaimana tidak, sekarang kita contohkan saja bukit sikunir dan Gunung Prau di kota sebelah yang sekarang ini hampir setiap minggu dikunjungi ribuan traveller. Ya itu tadi, terkenal karena para penggemar jalan jalan ini mengabadikan sesuatu yang istimewa dan kemudian menyebarkannya melalui berbagai media (terutama media sosial). Sehingga akhirnya Boommm....... meledaklah nama dua destinasi (yang katanya wajib dikunjungi juka berkunjung ke Jawa Tengah itu) di seantero jagad raya......halah


Dalam rangkaian event besar ini, kehadiran para jurnalis dan fotografer juga tidak bisa dipungkiri sangat penting. Dari segi promosi, blow up keluar (daerah), bahkan sampai dari sisi dokumentasi, kehadiran mereka akan sangat berpengaruh. Bagaimana tidak, kegiatan yang mereka liput dan abadikan kemudian akan diterbitkan dalam media massa maupun media sosial, dan kemudian secara berantai akan dilihat oleh sekian banyak orang di luar sana yang diantaranya akan merasa tertarik, penasaran juga berminat untuk di kemudian hari berkunjung ke Banjarnegara. Nah.......

Hal tersebut mutlak harus mulai dipikirkan oleh pemerintah daerah dan juga beliau beliau yang terhormat yang duduk di kursi wakil rakyat (katanya) dalam rangka niatan mereka untuk menaikkan "derajat" banjarnegara dari sektor pariwisata. Sebab bagaimanapun, sektor inilah penunjang perekonomian terbesar bagi masyarakat. Juga sektor pariwisata merupakan pintu gerbang masuknya investor di bidang lain yang tidak jarang malah justru tidak ada sangkut pautnya dengan pariwisata. Dengan pariwisata yang terkelola dengan maksimal maka Banjarnegara akan lebih dikenal, selain itu banyak orang yang kemudian akan tertarik berkunjung dan bahkan membuka usaha. Dan itu adalah pekerjaan rumah bagi kita bersama yang mengaku mencintai Banjarnegara dan punya cita cita untuk memajukan kota nan asri ini.......

Harapan saya (dan teman teman penggemar dan penghobi fotografi) sih bahwasanya untuk tahun tahun berikutnya secuil tentang fotografi di Banjarnegara ikut diingat oleh panitia. Maksudnya adalah bahwa untuk event sekelas Festival Serayu yang (katanya) berkelas nasional seperti ini sudah selayaknya kebutuhan para pengambil gambar juga disediakan dengan layak. Baik dari sisi lighting, posisi, tempat serta tidak kalah pentingnya adalah akses. Sehingga semua momen yang terjadi bisa terekam dan tertangkap gambar dengan baik dan maksimal.

Berikut sedikit tangkapan gambar yang berhasil saya abadikan selama pelaksanaan Festival Serayu Banjarnegara 2015 yang lalu


















 







*All Photo taken by Canon EOS 550D
9.21.2015
Posted by ngatmow

Festival Serayu Banjarnegara 2015 : Edisi Banjar Banjir Dawet

Rangkaian Festival Serayu Banjarnegara memang sudah beberapa hari yang lalu berakhir. Namun hingar bingar festival budaya terbesar di Banjarnegara ini masih terasa hingga kini. Dan bahkan ratusan stok foto yang ada di dalam kamera terkadang sampai belum dibuka dan diseleksi oleh rekan rekan fotografer yang mengabadikan setiap moment yang ada. Termasuk saya (meskipun saya bukan seorang fotografer - hanya seorang tukang foto gadungan saja)....halah

Dari keseluruhan acara yang digelar, saya pribadi merasa bahwa festival budaya khas kota tercinta ini sangat istimewa. Ramai, Elegan, dan klasik. Meskipun tentu saja masih banyak kekurangan dibeberapa hal yang bisa dijadikan koreksi untuk pelaksanaan kegiatan serupa di masa yang akan datang.
Oke, saya contohkan saja pada event Banjarnegara banjir dawet,
Pertama, semua fotografer terpusat di depan Balai Budaya dimana menteri Puan Maharani dan Gubernur Ganjar hadir di sana. Hal ini menyebabkan sangat kurangnya dokumentasi kegiatan serupa yang digelar di Gedung Dekranasda dan Stadion Kolopaking yang mana ternyata jumlah rombong dawetnya lebih banyak dan variatif. Sebagai seorang masyarakat awam, hal ini tentu saja sangat kurang sip mengingat bahwa animo mayarakat di lapangan sangat luar biasa.

Yang kedua adalah kesan bahwa panitia seolah olah mengkotak kotakkan kelas dalam masyarakat itu sendiri. Meskipun sebenarnya bertujuan baik, yaitu menghindari terjadinya over pengunjung, namun hal ini justru membuat pelaksanaan event ini menjadi sepi dan kurang greget. Tidak seperti apa yang digembar gemborkan sebelumnya yaitu Banjarnegara akan menjadi lautan dawet.........Bew.......



Sedikit masukan sih sebagai koreksi panitia (kalau berkenan tapinya........), mungkin akan jauh lebih baik kalau saja event seperti banjar banjir dawet ini dilakukan di satu tempat, Stadion Sumitro Kolopaking misalnya, dengan memberikan tempat khusus bagi pejabat dan orang orang yang diistimewakan. Dengan begitu, kesan membedakan kasta dalam masyarakat tidak begitu jelas kelihatan.                                          




Bersambung .......

9.17.2015
Posted by ngatmow

prihatin TV.......halah

Pada hari Jumat tanggal 21/8/2015 yang lalu Presiden Joko Widodo mengumpulkan para pimpinan redaksi televisi nasional di Istana Merdeka. Dalam pertemuan tersebut, presiden yang didampingi oleh Seskab Pramono Anung, Mendikbud Anies Baswedan, Menkominfo Rudiantara dan Tim Komunikasi Presiden Teten Masduki menyampaikan pesan agar pers nasional bisa mendidik masyarakat, tidak semata-mata mengejar rating.(end of news)

Ada satu bahasan menarik dari penggalan berita diatas yang saya sendiri lupa dari media mana hehehe.....
Pada akhirnya, sebelum saya sendiri yang "turun tangan" untuk mengkritik media terutama televisi, presiden sudah terlebih dahulu melakukannya. Kritikan ini lebih mengarah kepada sisi hiburan dan siaran non berita yang ditayangkan hampir semua stasiun televisi di negeri ini yang menurut saya pribadi sudah pada level yang sangat memprihatinkan.

Bila kita amati bersama, ada beberapa stasiun televisi swasta nasional yang mengandalkan siaran berupa sinetron negeri sebelah yang jam tayangnya luar biasa maksa. Sinetron anak-anak dengan durasi hampir 2 jam dan diputar 3 kali sehari (pagi, siang dan sore seperti minum obat) apakah satu hal yang wajar ? Tentu saja tidak..... Siaran acara show tidak jelas temanya yang hanya menampilkan pembawa acara dengan jumlah banyak yang hanya bersenda gurau dan kadang diselingi candaan dengan pukulan dan tindakan yang menjurus ke kekerasan dengan durasi 3-4 jam, apakah itu lumrah ? Sama sekali tidak......

Tentu saja itu semua sungguh sangat ironis, manakala para orang tua dan pendidik sedang berjuang keras mendidik anak tentang budi pekerti, seolah menjadi sia-sia karena pada sore dan malam harinya televisi justru menyuguhkan program (tontonan) yang berbanding terbalik dengan yang diajarkan. Tontonan yang menonjolkan budaya (mentalitas) konsumtif dan bermewah-mewahan serta banyaknya program televisi yang menanyangkan hal-hal yang berbau tahayul, tidak rasional.

Mengapa presiden tidak mengkritik televisi karena siaran beritanya, melainkan karena program-program hiburan dan sinetronnya?
Mungkin jawaban yang paling rasional adalah bahwa pemroduksi berita adalah wartawan, atau setidaknya orang sudah pantas diberi kartu pers, yang akan dipercaya oleh stasiun televisi untuk mencari dan menuliskan sebuah berita. Pemilik kartu pers pastilah orang yang sudah terlatih dalam penulisan berita serta paham akan kode etik jurnalistik. Dan mereka yang paham dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik pastilah akan mengikuti kaidah-kaidah penulisan berita yang benar. Sehingga ketika sebuah berita ditulis dengan mengikuti kaidah teknik dan etik yang benar pastilah isi berita bisa dipertanggungjawabkan.  Akibatnya informasi yang diterima oleh konsumen (yang dalam hal ini adalah masyarakat) penonton televisi adalah sesuatu yang benar dan bisa menjadi pengetahuan dan pembelajaran masyarakat.

Bukankah berita bisa direkayasa? Benar! Tetapi, ‘berita’ hasil rekayasa bukanlah sebuah berita melainkan cerita fiksi. Sebuah kebohongan. Bila itu dilakukan maka siperekayasa sudah melanggar kode etik, bahkan boleh jadi sudah melakukan tindakan kriminal. Jika itu alasan presiden tidak risau terhadap news televisi, maka dapat kita simpulkan bahwa presiden masih percaya dan  berharap bahwa wartawan televisi dapat, telah, dan akan selalu bekerja secara profesional.

Pada kesempatan itu, program dalam kategori tayangan hiburan yang mendapat kritikan adalah tayangan yang mendorong publik untuk konsumtif, bermewah-mewahan dan tidak rasional. Sebagai contoh adalah tayangan sinetron (baik dalam negeri maupun dari negeri tetangga yang sudah "merajalela" belakangan ini). Serta tayangan berbau mistis yang sempat merajai rating tayangan televisi.

Apakah tayangan tayangan itu salah? 
Bukankah percaya pada hal-hal berbau tahayul, perilaku konsumtif, suka bermewah-mewah, malas bekerja, adalah hak seseorang?
Bukankah tingginya rating mengindikasikan banyaknya anggota masyarakat kita menyukai perilaku seperti itu?

Kalau ada yang merasa bahwa menyukai tontonan sinetron, lawakan, atau hiburan-hiburan yang berkategori norak dan irasional adalah hak, maka sudah bisa dipastikan bahwa ada yang salah dengan otak kita. Ada indikasi bahwa otak kita sudah terlalu teracuni oleh tayangan televisi yang secara tidak langsung mengajarkan bahwa hal hal semacam itu adalah sesuatu yang "biasa dan lumrah" ......... OMG..........halah
Dan kita pun lambat laun akan membiarkan perilaku-perilaku seperti narkoba, melacur, atau berjudi menjadi sebuah hal yang lazim. Mengapa? Menggunakan narkoba, yang rusak adalah diri pelaku sendiri. Tetapi yang dikhawatirkan adalah kecanduan akan mendorong orang tersebut melakukan tindakan kriminal untuk mendapat uang agar bisa membeli narkoba. Demikian juga melacur dan berjudi. Bukankah uang yang digunakan adalah uangnya sendiri, lantas kenapa mesti dilarang? Ketika melacur dan berjudi menjadi kebiasaan, makan akan banyak sekali hal negatif yang akan muncul mengikutinya. Bayangkan saja jika setiap hari ada pencurian, perampokan, penganiayaan dan lain sebagainya di sekitaran rumah kita. Aman ? Betah ? Nyaman ?
Tentu saja tidak kisanak.....................

Lalu apa hubungannya dengan kepercayaan pada hal-hal berbau tahayul dan mitos? Perilaku tahayul sama buruknya dengan ketiga kebiasaan tadi. Mengapa? Masih ingat beragam kasus kriminal-konyol yang pernah terjadi di negeri ini? Ada pemuda yang menjadi pembunuh berantai hanya karena terpikat akan memperoleh kesaktian setelah membunuh sekian puluh korban? Ada pemuda membongkar kuburan hanya untuk mendapat potongan kain kafan pembungkus mayat? Ada lagi ratusan orang tertipu oleh seseorang yang mengaku bisa menggandakan uang dengan cara gaib? Atau berita tentang adanya gadis dan ibu rumah tangga yang terpaksa menanggung aib dicabuli oleh orang yang mengklaim bisa memberi pesugihan?

Apa penyebab semua itu?
Kepercayaan pada hal-hal yang tidak rasional. Jadi, bila dampak tidak langsung yang kita pertimbangkan terhadap suatu perilaku maka jelaslah bahwa tayangan-tayangan yang mengumbar dan mengukuhkan perilaku irasional publik sangat buruk dampaknya. Sama buruknya dengan kebiasaan mengonsumsi narkoba, kebiasaan melacur, atau kebiasaan berjudi. Oleh sebab itu, kritik presiden terhadap kualitas tayangan (sinetron dan hiburan) di televisi nasional perlu mendapat perhatian dan dukungan semua pihak.

So, mungkin sudah saatnya bagi kita untuk mulai "mengalah" pada siaran televisi. Yaitu mengalah dalam artian "membunuh" televisi pada saat siaran-siaran tidak jelas tadi dan mulai menerapkan kebiasaan kebiasaan baru yang lebih berguna. Memasak misalnya hehehe......
Atau seperti saya yang menghapus beberapa stasiun televisi nasional yang hanya menayangkan siaran sinetron India dan Turki saja saban menitnya.......

Terakhir, mari kita bersama sama memperbaiki moral anak bangsa dengan memperbaiki "kualitas" tontonan mereka sedari dini. Karena bagaimanapun mau tidak mau, pengaruh siaran televisi akan sangat membekas dan berpengaruh pada pola pikir anak anak muda negeri ini yang masih labil dan perlu mendapatkan perlakuan khusus dalam hal tontonan mereka...........selain itu, mari kita doakan agar semua warga negeri ini terutama para pemilik stasiun televisi agar mulai melupakan rating, tapi kualitas siaran mereka yang secara tidak langsung bakal mempengaruhi anak anak muda harapan bangsa.................
9.03.2015
Posted by ngatmow

Instagram

Arsip

Copyright 2008 ZISBOX- Metrominimalist | Template Diutak atik Ngatmow Prawierow